Perubahan Iklim, Risiko Malaria Di Afrika Bergeser dan Berkembang

malaria, anopheles
malaria, anopheles
Nyamuk malaria.

Bhataramedia.com – Sebagian besar daerah di Afrika saat ini berisiko tinggi untuk penularan malaria dari yang diperkirakan sebelumnya, menurut studi pemetaan baru dari University of Florida.

Di bawah pengaruh iklim di masa depan, daerah di mana penyakit ini dapat menular paling mudah akan menyusut, tetapi total zona transmisi akan meluas dan pindah ke wilayah baru.

Penelitian ini muncul di edisi terbaru jurnal Vector-Borne and Zoonotic Diseases.

Tahun 2080, studi menunjukkan, sepanjang tahun, zona transmisi tertinggi akan pindah dari pesisir Afrika Barat, menuju ke timur Albertine Rift, antara Republik Demokratik Kongo dan Uganda. Daerah ini cocok untuk transmisi musiman, risiko transmisi yang lebih rendah akan bergeser ke utara menuju pesisir sub-Sahara Afrika.

Hal yang paling mencolok adalah beberapa bagian Afrika akan menjadi terlalu panas untuk malaria.

Ekspansi keseluruhan dari daerah yang rentan malaria akan memberikan tantangan pada pihak manajemen kesehatan, kata pemimpin penulis Sadie Ryan, asisten profesor geografi di University of Florida yang juga berafiliasi dengan UF Emerging Pathogens Institute.

Malaria akan tiba di daerah baru, menyebabkan risiko untuk populasi baru, katanya, dan pergeseran dari daerah endemis dan epidemi akan memerlukan perubahan manajemen kesehatan masyarakat.

“Memetakan model prediktif dari penyakit menular seperti malaria memungkinkan kita untuk mengembangkan alat untuk memahami dinamika ruang dan musiman, dan untuk mengantisipasi perubahan dinamika tersebut di masa depan,” kata Ryan, seperti dilansir University of Florida (30/11/2015).

Malaria serebral, yang disebabkan oleh parasit Plasmodium falciparum ditularkan oleh nyamuk Anopheles gambiae, yang merupakan bentuk paling mematikan dari penyakit ini, menewaskan sekitar 584.000 orang setiap tahun. Malaria dapat menyebabkan kegagalan organ, tidak sadar, dan koma, jika tidak diobati, dan merupakan penyebab utama penurunan produktivitas ekonomi di daerah-daerah yang terkena dampak.

Studi ini menggunakan model yang memperhitungkan respon fisiologis nyata dari nyamuk dan parasit malaria terhadap suhu. Model ini menunjukkan suhu transmisi yang optimal untuk malaria (pada 25 derajat Celcius) menjadi 6 derajat Celcius lebih rendah dari model prediksi sebelumnya.

Karya ini akan memainkan peran penting dalam membantu rencana petugas kesehatan masyarakat dan LSM untuk penyebaran sumber daya yang efisien dan intervensi untuk mengendalikan wabah malaria di masa depan, serta biaya sosial yang terkait, kata Ryan.

Tim penelitian kolaboratif dalam penelitian ini termasuk ahli epidemiologi, kesehatan masyarakat, ekologi, entomologi, pemodelan matematika dan geografi. Selain Ryan, anggota tim lainnya adalah Amy McNally (NASA), Leah Johnson (University of South Florida), Erin A. Mordekhai (Stanford University), Tal Ben-Horin (Rutgers), Krijn Paaijmans (Universitat de Barcelona) dan Kevin D. Lafferty (US Geological Survey).

Pekerjaan ini merupakan perkembangan atas kerja tim sebelumnya di National Center for Ecological Analysis and Synthesis, University of California, Santa Barbara.

Referensi Jurnal :

Sadie J. Ryan, Amy McNally, Leah R. Johnson, Erin A. Mordecai, Tal Ben-Horin, Krijn Paaijmans, Kevin D. Lafferty. Mapping Physiological Suitability Limits for Malaria in Africa Under Climate Change. Vector-Borne and Zoonotic Diseases, 2015; DOI: 10.1089/vbz.2015.1822.

You May Also Like