Bhataramedia.com – Industri sirip ikan hiu terbesar di dunia terletak di jantung “Coral Triangle”, wilayah dari Samudera Hindia dan Pasifik yang merupakan rumah bagi terumbu karang yang paling beragam di dunia dan dikenal sebagai Amazon di laut. Lingkungan yang terdengar indah ini menopang industri yang bertanggung jawab atas kematian lebih dari 3 juta hiu dalam setahun. Dengan penangkapan tahunan yang dilaporkan mencapai 100.000 ton, perikanan hiu di Indonesia memberikan kontribusi lebih untuk perdagangan sirip hiu internasional daripada bangsa lainnya.
Sirip hiu merupakan target yang menggoda untuk nelayan dari masyarakat pulau Indonesia karena mereka memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan penangkapan ikan hiu adalah salah satu mata pencaharian yang paling menguntungkan di daerah-daerah pesisir terpencil. Industri “finning” menyajikan mata pencaharian utama bagi nelayan di wilayah ini dan keuntungan yang sangat besar telah mengubah desa-desa pesisir terpencil menjadi komunitas berbasis uang. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, populasi hiu telah mengalami penurunan yang mengkhawatirkan.
Peningkatan mengejutkan pasokan sirip hiu ke pasar global telah menyebabkan eksploitasi berlebihan dari populasi hiu dan itu tidak hanya mempengaruhi ekosistem biologis, tetapi juga industri wisata bahari yang sangat menguntungkan. Untuk melindungi hiu serta ekonomi lokal, konservasionis dan ilmuwan mendesak serta emenyerukan pengelolaan perikanan yang lebih baik.
Menurut studi yang diterbitkan di jurnal akses terbuka Frontiers in Marine Science, konservasi hiu yang efektif di Indonesia hanya bekerja ketika perlindungan hiu melalui zona larangan memancing dikombinasikan dengan upaya untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan mereka sendiri dan dengan menyediakan alternatif untuk mempertahankan mata pencaharian mereka.
Untuk mempelajari pengaruh No-Take Zones (NTZs) yang melarang penangkapan ikan komersial dan pemancingan semua hiu dan ikan karang, Vanessa Jaiteh dan rekan-rekannya pergi ke Kabupaten Raja Ampat di Timur jauh Indonesia. Daerah ini merupakan pusat industri pengambilan sirip hiu dan di mana hiu memiliki nilai ekonomis yang tinggi sebagai daya tarik wisata.
Pada dua zona larangan penangkapan yang ditegakkan dengan baik pada Kawasan Lindung Laut untuk hiu yang baru-baru ini didirikan di Raja Ampat, jumlah hiu terbukti hingga 28 kali lebih tinggi dibandingkan dengan daerah terbuka untuk memancing. Para ilmuwan mengusulkan bahwa perbedaan yang signifikan ini kemungkinan besar karena penangkapan ikan terjadi secara terus-menerus di zona terbuka, sementara di zona larangan penangkapan adalah tempat yang aman bagi hiu yang tersisa dan keturunan mereka dengan menyediakan lebih banyak makanan dan perlindungan. Selain itu, tidak hanya hiu yang menunjukkan perkembangan di daerah-daerah larangan tersebut, tetapi juga ikan karang lainnya yang jumlahnya jauh lebih berlimpah.
Seringkali, penelitian berhenti di sini, tetapi para ilmuwan juga berangkat untuk menangani sisi sosial-ekonomi. Tujuan mereka adalah untuk melihat dampak dari penutupan zona besar di laut terhadap respon dan perilaku nelayan hiu, yang dearah memancing utamanya ditutup melalui pembentukan suaka hiu Raja Ampat. Dari nelayan hiu yang diwawancarai, semuanya kehilangan akses ke lahan perikanan utama mereka, 88% tahu bahwa hiu dilindungi di Raja Ampat tetapi banyak yang tidak yakin tentang tujuan suaka tersebut dan beberapa merasa mata pencaharian mereka dipertimbangkan oleh lembaga konservasi.
Berbicara dengan para nelayan dan melakukan survei pada data hasil tangkapan, penulis mengungkapkan bahwa nelayan hiu menyesuaikan dengan penutupan, dengan berpindah ke tempat memancing lainnya, menargetkan populasi di daerah yang tidak dilindungi, atau dengan mencari cara lain untuk mendukung mata pencaharian mereka, termasuk transportasi bensin ilegal.
Nelayang yang kami wawancarai mengetahui bahwa hiu adalah penting bagi ekosistem laut dan pariwisata, tetapi juga mengungkapkan dilema mereka untuk mengejar mata pencaharian yang lebih berkelanjutan dalam keterbatasan keterpencilan geografis, kemiskinan, serta utang dengan pemilik kapal dan pedagang,” jelas Vanessa Jaiteh.
“Beberapa alternatif melibatkan risiko pribadi atau lingkungan yang tinggi dan hampir tidak lebih berkelanjutan dari perburuan sirip hiu, yang mengurangi manfaat yang lebih luas dari strategi konservasi lokal yang sukses,” lanjut Vanessa Jaiteh, seperti dilansir Frontiers (11/04/2016).
Temuan penelitian ini membuat jelas bahwa pembentukan zona larangan memancing akan menghasilkan perlindungan kehidupan laut, hanya jika ditambahkan dengan strategi konservasi yang lebih luas, yang mencakup pemberian insentif bagi nelayan untuk meninggalkan perikanan dengan menyediakan pilihan mata pencaharian yang legal dan berkelanjutan.
Referensi Jurnal :
Vanessa F. Jaiteh, Steve J. Lindfield, Sangeeta Mangubhai, Carol Warren, Ben Fitzpatrick, Neil R. Loneragan. Higher Abundance of Marine Predators and Changes in Fishers’ Behavior Following Spatial Protection within the World’s Biggest Shark Fishery. Frontiers in Marine Science, 2016; 3 DOI: 10.3389/fmars.2016.00043.