Bhataramedia.com – Pernikahan anak di bawah umur, masih rentan terjadi. Terutama di berbagai derah di Indonesia, yang saat ini negara pun masih melonggarkan potensi nikah di bawah umur.
Hal ini terlihat jelas saat Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan untuk menolak peninjauan kembali UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, terutama pasal 7 ayat 1 tentang batas usia perkawinan. Batas usia perkawinan perempuan tetap 16 tahun, usia yang sebenarnya masih tergolong anak.
Menurut pengamat dan Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada, Prof. Muhadjir Darwin menilai keputusan mayoritas anggota majelis hakim MK tidak pro terhadap persoalan perempuan dan anak. Pada prakteknya, anak perempuan di Indonesia yang belum mencapai usia 16 tahun bisa mendapatkan ijin untuk menikah apabila mendapat dispensasi dari hakim pengadilan.
“UU Perkawinan memberi kelonggaran di dalam penerapannya. Hak prerogatif hakim ini sering dipakai untuk membenarkan pernikahan anak di bawah umur dengan alasan-alasan yang lemah,” kata Muhadjir hari ini Selasa (23/6/2015) seperti dilansir dari situs resmi UGM.
Menurut Muhadjir, Pasal 7 UU Perkawinan merupakan “pasal karet”. Pada ayat 1 sudah diatur dengan jelas tentang batas usia perkawinan. Namun, pada ayat 2, hakim pengadilan justru diberi kewenangan untuk melanggengkan perkawinan meski usia pihak perempuan masih di bawah batas usia perkawinan.
“Adanya kewenangan ini sebenarnya membuat batasan usia perkawinan tidak ada artinya,” tambah Muhadjir.
Jika hakim pengadilan masih diberi keleluasaan seperti itu, kata Muhadjir, UU Perkawinan secara terang-terangan tidak melakukan kontrol apa-apa terhadap perkawinan anak. “
Artinya, negara pun dinilai tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah perkawinan pada anak,” kata Muhadjir.
Menurutnya kewenangan hakim perlu ditinjau sebagai materi baru tuntutan ke MK. Jika tidak memungkinkan, maka poin ini penting pula dibahas oleh para anggota dewan dalam rencananya merevisi UU Perkawinan.
“Apa yang dipersoalkan bukan hanya batas usia perkawinan, namun juga pada leluasanya hakim memberikan dispensasi atau ijin bagi perkawinan pada anak,” kata Muhadjir.
Selain kewenangan hakim, katanya, hal lain yang penting untuk melindungi anak dari perkawinan adalah aspek legalitas. Aspek legalitas terkait dengan upaya penegakan hukum. Upaya untuk mengontrol perkawinan anak menjadi sulit ketika prosedur administrasi negara bukan menjadi faktor penentu utama bagi diterimanya suatu perkawinan oleh individu maupun masyarakat.
Muhadjir membeberkan bahwa banyak kasus perkawinan anak yang dilakukan secara tidak resmi, misalnya dengan praktik “nikah siri”. UU Perkawinan tidak mampu memberikan keterangan yang jelas mengenai persoalan “nikah siri” baik yang dijalankan oleh agama maupun adat. Dengan demikian, hukum negara juga perlu mengatur perihal “nikah siri” karena seringkali menjadi jalan bagi praktik perkawinan pada anak.