Bhataramedia.com – Suku Asmat adalah salah satu suku yang mendiami Papua. Suku Asmat dikenal dengan seni ukirnya yang amat indah. Suku ini masih memegang teguh kepercayaan tradisional dan belum tersentuh oleh tangan-tangan da’i, missionaris, atau zending.
Sistem kekerabatan antara laki-laki dan perempuan yang diterapkan oleh Suku Asmat di pedalaman Papua amat berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Jika biasanya aktivitas masyarakat terpusat pada laki-laki dan dibantu oleh perempuan, maka hal bertolak belakang akan kita jumpai pada Suku Asmat.
Suku yang identik dengan riasan putih di seputar wajah ini sebenarnya memiliki simbolisasi yang cukup bagus untuk perempuan. Perempuan sering diibaratkan tumbuhan atau hewan yang sangat dihormati oleh masyarakat Asmat, seperti pohon hijau, kuskus, anjing, burung kakatua, nuri, serta bunga bakung. Simbolisasi perempuan tersirat juga dari indahnya pahatan atau ukiran yang dihasilkan. Namun, di balik simbolisasi tersebut, tersimpan fakta para ibu dan gadis Asmat yang cukup memprihatinkan.
Kehidupan menyenangkan para wanita Asmat hanya sampai umur lima tahun. Saat itu mereka dengan bebas bisa bermain seperti layaknya anak-anak, namun juga tetap tidak sebebas anak laki-laki. Menginjak umur enam tahun, sedikit demi sedikit gadis Asmat akan mulai diperkenalkan dengan tugas-tugas yang telah dibebankan oleh tradisi.
Aktivitas wanita Asmat dimulai sebelum matahari terbit. Mengambil air, menebang, menokok, dan memasak sagu, menangkap ikan, memberi makan dan memandikan anak-anak, serta membersihkan tsyem (rumah panggung khas Asmat) harus mereka selesaikan sebelum para suami bangun. Kadang, karena masih gelap, perempuan Asmat sering tersambar buaya ketika menangkap ikan di sungai. Setiap tahun selalu ada penduduk Asmat yang termakan buaya, dan kebanyakan adalah wanita.
Laki-laki Asmat benar-benar hidup dimanja. Pekerjaannya sehari-hari hanya menikmati apa yang telah disediakan oleh istrinya, kemudian berjudi dan mengisap tembakau. Jika istrinya lalai atau terlambat menyediakan keperluan, mereka tidak jarang menyakiti istrinya secara fisik. Kadang suami menemani istrinya mencari kayu, namun benar-benar hanya “menemani”, tanpa membantu. Setelah kayu terkumpul, istri lah yang tetap harus mengangkatnya pulang.
Kenyataan miris lainnya terjadi saat laki-laki memahat kayu untuk ukiran. Tugas istri adalah menyiapkan sagu bakar untuk makanan suaminya selama mengukir. Semakin lama suami memahat, maka semakin berat tugas perempuan karena mereka harus memangur, meramah, dan mengolah sagu. Belum lagi mereka harus menjaring ikan jika suami ingin ikan bakar. Setelah ukiran terjual, uang yang didapat sepenuhnya milik laki-laki, istrinya sama sekali tidak dapat bagian. Uang tersebut biasanya untuk berjudi dan minuman keras.
Kehidupan wanita Asmat semakin sengsara jika suaminya gemar mabuk-mabukan. Tidak jarang mereka menjadi korban kekerasan. Dengan kehidupan seberat ini, perempuan Asmat yang telah menikah biasanya akan cepat sekali tua. Harapan hidup perempuan Asmat biasanya tidak sampai 40 tahun.
Disarikan dari berbagai sumber