Bhataramedia.com – Jelang masyarakat ekonomi ASEAN, beberapa negara di kawasan ASEAN telah lama mempersiapkannya. Terbukti beberapa negara di kawasan Asia, Amerika, dan kawasan lainnya telah mendukung gerakan despesialisasi. Mereka tidak lagi mengistimewakan satu produk unggulan dari suatu negara tertentu, mereka telah memikirkan bagaimana bisa mengkolaborasikan produk lain di suatu negara.
Hal ini membuktikan bahwa teori perdagangan berkesimpulan bahwa suatu negara akan mengarahkan diri pada spesialisasi beberapa produk unggulan semakin bergeser. Sejarah membuktikan keunggulan komparatif suatu negara adalah dinamis.
Namun ditengah-tengah upaya suatu negara melakukan despesialisasi, beberapa negara yang lain juga tengah melakukan spesialisasi produk tertentu, misalkan Cina, dan Jepang. Cina mengunggulkan kain sutra dan Jepang mengunggulkan produk teknologinya.
Sejalan dengan hal itu, Prof. Dr. Tri Widodo, S.E., Grad.Dip.Ec.Dev., M.Ec.Dev, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada mengatakan, “Saya menemukan negara-negara di Asia Timur secara empiris mengalami despesialisasi, dan bukan spesialisasi seperti dalam teori. Bahkan temuan-temuan tersebut telah saya deseminasikan di banyak forum dan jurnal internasional,” katanya hari Rabu (10/6/2015) seperti yang dilansir dalam situs resmi UGM.
Tri Widodo menjelaskan, dari 60 negara hanya 5 negara menunjukkan fenomena spesialisasi sesuai teori dan 55 negara memperlihatkan despesialisasi bertentangan dengan teori. Sementara teori mengatakan negara-negara melakukan spesialisasi, namun empiris memperlihatkan banyak negara melakukan despesialisasi.
“Jadi siapapun yang nanti menciptakan teori baru mengenai perdagangan internasional dengan berdasar despesialisasi, landasan empirisnya telah saya letakkan”, katanya.
Lebih lanjut ia berpendapat bahwa faktor banyak negara yang melakukan despesialisasi karena didorong isu perdagangan internasional dari perdagangan yang menakutkan (fear trade) ke perdagangan bebas (free trade) dan perdagangan yang adil (fair trade). Sayang, pranata fair trade gagal karena kepentingan domestik negara-negara besar.