Rendahnya Oksigen Akibat Pemanasan Lautan Akan Menggeser Habitat Hewan Laut

kepiting batu, habitat
kepiting batu, habitat
Habitat kepiting batu diperkirakan akan bergeser menjauhi suhu hangat di khatulistiwa dan menuju perairan dangkal yang lebih banyak mengandung oksigen.(Credit: J. MacCausland / U.S. Geological Survey)

Bhataramedia.com – Pendaki gunung modern biasanya membawa tangki oksigen untuk membantu mereka mencapai puncak. Kombinasi dari tenaga fisik dan kekurangan oksigen di ketinggian yang menciptakan salah satu tantangan terbesar bagi pendaki gunung.

Peneliti dari University of Washington dan kolaboratornya telah menemukan bahwa prinsip yang sama akan berlaku untuk spesies laut di bawah kondisi pemanasan global. Suhu air yang lebih hangat akan mempercepat kebutuhan metabolisme hewan akan oksigen, sama yang terjadi selama olahraga. Namun, air yang lebih hangat akan lebih sedikit mengandung oksigen yang dibutuhkan untuk bahan bakar, mirip dengan apa yang terjadi di ketinggian.

Penelitian yang diterbitkan tanggal 5 Juni di Science tersebut, menemukan bahwa perubahan ini akan bertindak bersama-sama untuk mendorong hewan laut menjauh dari khatulistiwa. Sekitar dua pertiga dari stres pernafasan akibat perubahan iklim disebabkan oleh menghangatnya suhu, sementara sisanya adalah karena air yang lebih hangat mengandung lebih sedikit gas terlarut.

“Jika metabolisme naik, Anda membutuhkan lebih banyak makanan dan Anda membutuhkan lebih banyak oksigen,” kata pemimpin penulis penelitian, Curtis Deutsch, profesor oseanografi UW. “Ini berarti bahwa hewan air dapat kekurangan oksigen di dalam kondisi yang lebih hangat di masa depan. Kita mengetahui bahwa kadar oksigen di laut saat ini sedang turun dan akan semakin menurun dengan pemanasan iklim.”

Penelitian ini berpusat pada empat spesies Samudera Atlantik yang kebutuhan suhu dan oksigennya telah diketahui dari tes laboratorium. Empat spesies tersebut adalah ikan cod Atlantik yang hidup di laut terbuka; kepiting batu Atlantik yang hidup di perairan pesisir; ikan snout seabream yang hidup di daerah subtropis Atlantik dan Mediterania; dan eelpout, ikan dasar yang hidup di perairan dangkal di lintang utara tinggi.

Deutsch menggunakan model iklim untuk melihat bagaimana suhu dan kadar oksigen yang diproyeksikan pada tahun 2100 karena perubahan iklim akan mempengaruhi kemampuan empat spesies untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan. Jika emisi ini terus berlanjut, laut dekat permukaan diproyeksikan akan menghangat hingga beberapa derajat Celsius pada akhir abad ini. Air laut pada suhu ini akan mengandung 5-10 persen lebih sedikit oksigen dibandingkan saat ini.

Hasil analisis menunjukkan habitat kepiting batu di masa depan akan dibatasi pada perairan yang lebih dangkal, menuju ke daerah dengan lebih banyak oksigen di permukaan. Untuk semua empat spesies, daerah di kisaran khatulistiwa akan menjadi tidak dapat dihuni karena kebutuhan oksigen puncak akan menjadi lebih besar dari pasokan. Habitat yang layak akan bergeser jauh dari khatulistiwa, menggantikan 14 persen hingga 26 persen dari rentang wilayah saat ini.

Keempat hewan tersebut dipilih karena pengaruh oksigen dan suhu pada metabolisme mereka telah diketahui, serta karena mereka tinggal di beragam habitat. Para penulis percaya bahwa hasil penelitian ini relevan untuk semua spesies laut yang mengandalkan oksigen untuk sumber energi.

“Samudera Atlantik relatif memliki kandungan oksigen yang baik. Jika ada pembatasan oksigen di habitat laut Samudera Atlantik, maka itu akan terjadi di mana-mana,” kata Deutsch, seperti dilansir University of Washington (04/06/2015).

Model iklim memperkirakan bahwa kadar oksigen yang relatif rendah di bagian utara Samudera Pasifik akan menurun lebih jauh, sehingga membuatnya menjadi wilayah laut yang paling rentan terhadap hilangnya habitat.

“Bagi hewan air yang bernapas dengan oksigen, memanasnya suhu akan membuat masalah nyata pada suplai oksigen yang terbatas terhadap permintaan yang tinggi,” kata rekan penulis penelitian, Raymond Huey, seorang profesor biologi UW yang telah mempelajari metabolisme pada hewan darat dan pendaki gunung.

“Indeks metabolik sederhana ini tampaknya berkorelasi dengan distribusi organisme laut saat ini,” katanya, “Hal ini dapat memberikan Anda prediksi mengenai bagaimana batas rentang akan bergeser akibat pemanasan.”

Sebelumnya, para ilmuwan kelautan memikirkan kandungan oksigen, lebih ke dalam hal kejadian ekstrim yang dapat menyebabkan kematian massal regional hewan laut, yang juga dikenal sebagai zona mati.

“Rentang wilayah juga dapat bergeser karena alasan lain, tetapi saya pikir pengaruh yang kami jelaskan akan menjadi bagian dari faktor keseluruhan yang mendorong pergerakan spesies di masa depan,” kata Deutsch.

Referensi :

C. Deutsch, A. Ferrel, B. Seibel, H.-O. Portner, R. B. Huey. Climate change tightens a metabolic constraint on marine habitats. Science, 2015; 348 (6239): 1132 DOI: 10.1126/science.aaa1605.

You May Also Like