Bhataramedia.com – American Cancer Society memperkirakan bahwa 220.800 kasus baru kanker prostat akan didiagnosis di Amerika Serikat pada tahun 2015. Sekitar 27.540 orang akan mati akibat penyakit ini, terhitung 5 persen dari semua kematian akibat kanker.
Pengobatan yang umum digunakan untuk kanker prostat adalah prostatektomi, dimana seluruh atau sebagian dari kelenjar prostat diangkat. Studi terbaru menunjukkan bahwa prosedur ini sering terlalu diresepkan secara berlebihan. Pada awal tahun 2010, New England Journal of Medicine melaporkan bahwa prosedur tersebut memperpanjang kehidupan hanya pada 1 dari 48 pasien. Efek samping dari operasi, termasuk inkontinensia dan impotensi, dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
“Pada setiap 20 prosedur operasi pengambilan prostat, diperkirakan bahwa hanya satu kehidupan yang diselamatkan,” kata Gabriel Popescu, direktur Quantitative Light Imaging Laboratory (QLI) dan penulis senior studi tersebut.
“Pada 19 orang lainnya, mereka akan lebih baik dibiarkan saja, karena dengan menghapus prostat, kualitas hidup akan turun drastis. Jadi, jika Anda memiliki alat yang dapat membedakan pasien mana yang benar-benar akan lebih cenderung memiliki hasil yang buruk, maka Anda dapat lebih agresif mengobati kasus itu,” lanjut Popescu, seperti dilansir Beckman Institute for Advanced Science and Technology (15/05/2015).
Pada studi yang didanai oleh National Science Foundation dan Agilent Technologies, peneliti menggunakan Spatial Light Interference Microscopy (SLIM), metode bebas penanda, untuk melakukan pengukuran lokal dari hamburan cahaya di jaringan prostatektomi microarray. Quantitative Phase Imaging (QPI) yang dilakukan oleh SLIM meneliti anisotropi (perbedaan di dalam sifat fisik material), pada saat cahaya tersebar melalui stroma (jaringan yang mengelilingi kelenjar prostat). Hasil penelitian ini dapat ditemukan di naskah ilmiah berjudul article “Prediction of Prostate Cancer Recurrence using Quantitative Phase Imaging,” yang dipublikasikan di Scientific Reports.
Para peneliti menemukan bahwa nilai anisotropi yang lebih tinggi menunjukkan bahwa jaringan tersebut lebih terorganisir. Sebuah nilai yang lebih rendah menunjukkan bahwa berbagai komponen di dalam jaringan lebih terfragmentasi dan tidak terorganisir.
Kami menemukan bahwa pasien yang memiliki hasil yang buruk, memiliki jaringan ikat di sekitar kelenjar (stroma) yang lebih tidak teratur, daripada di dalam kasus pasien yang memiliki hasil yang lebih baik,” kata Shamira Sridharan, seorang asisten peneliti pascasarjana di QLI Lab dan penulis utama studi tersebut.
“Di antara orang-orang yang menjalani prostatektomi, ada beberapa alat statistik yang mengambil berbagai parameter klinis untuk dijadikan pertimbangan dan kemudian memprediksi risiko kekambuhan,” kata Sridharan.
“Tetapi di antara orang-orang yang berada di risiko menengah untuk kekambuhan, metode-metode tersebut sering gagal, jadi ada kemungkinan menyebabkan overdosis atau overtreatment. Jelas, alat yang lebih akurat diperlukan untuk memprediksi kekambuhan di antara kelompok itu,” jelas Sridharan.
Misalnya, kata Sridharan, setelah prostatektomi dilakukan, tumor dinilai oleh ahli patologi dan dikombinasi dengan parameter bedah lainnya seperti margin positif bedah, apakah kanker telah menyerang ke kelenjar getah bening, ekstensi ekstra-prostatik dan tingkat PSA, serta risiko kekambuhan atau rekurensi. Namun, beberapa informasi ini hanya tersedia pasca operasi. Dengan memeriksa kualitas jaringan di sekitar kelenjar kanker, para peneliti percaya bahwa mereka dapat menentukan perkembangan penyakit pada fase sebelum bedah, atau tahap biopsi.
Studi dari 181 sampel jaringan yang diperoleh dari National Cancer Institute-sponsored Cooperative Prostate Tissue Resource (CPCTR) tersebut, berasal dari individu yang sudah menjalani prostatektomi. Sekitar setengah tidak mengalami kekambuhan dan setengah mengalami kekambuhan. SLIM mampu mengidentifikasi di mana kanker akan muncul kembali.
Penelitian ini merupakan hasil kerja kolaboratif antara QLI Lab dan tiga ahli patologi bersertifikat : Drs. Andre Balla dan Virgilia Macias dari University of Illinois di Chicago dan Dr. Krishnarao Tangella dari Presence Covenant Medical Center di Urbana, Illinois.
“Agak luar biasa bahwa perbedaan antara kanker dengan hasil yang buruk dan hasil yang baik, ditemukan tidak di dalam sel-sel yang ganas, tetapi di dalam jaringan yang berdekatan dengan kanker. Kemungkinan, hal ini karena tubuh dapat mengenali yang tumor yang lebih agresif dan bereaksi terhadap mereka,” kata Balla.
Metode baku yang digunakan untuk skrining kanker prostat adalah uji Prostate-Specific Antigen (PSA).
“PSA adalah alat yang sangat baik untuk memprediksi kekambuhan kanker prostat pada seorang individu yang sedang menjalani prostatektomi,” kata Sridharan.
“Tetapi ketika screening PSA pertama dimulai, ada lonjakan besar di dalam jumlah kasus kanker prostat yang didiagnosis. Jadi jika alat skrining memang benar-benar baik, Anda akan melihat lonjakan awal, tetapi setelah itu kasus akan menurun. Melalui penggunaan PSA, penurunan tersebut tidak pernah terjadi. Jumlah diagnosis kasus tetap tinggi, jadi saat ini, United States Preventative Task Force tidak lagi merekomendasikan skrining rutin untuk PSA,” jelas Sridharan.
“Berdasarkan tingkat PSA, banyak pasien menjalani biopsi dan prostatektomi,” jelas Popescu.
“Setelah prostatektomi, tingkat serum PSA menjadi hampir nol karena diproduksi secara eksklusif di prostat. Jadi PSA adalah alat yang hebat setelah prostatektomi di dalam hal memprediksi kekambuhan jika tingkatnya mulai naik lagi, menunjukkan bahwa kanker telah menyebar ke tempat lain di dalam tubuh. Namun, di dalam tahap pra-diagnosis, metode ini tidak terlalu bagus karena dapat menyebabkan over-diagnosis. Gagasan yang melatar belakangi metode kami adalah jika kita dapat memprediksi kekambuhan setelah prostatektomi, kemungkinan kita dapat memprediksi kekambuhan pada tingkat biopsi, sebelum operasi radikal dilakukan,” kata Popescu.
“Apa yang membuat SLIM sangat baik adalah membuat benda-benda tak terlihat menjadi terlihat dengan sensitivitas skala nano,” kata Popescu. “Jadi kita memilih rincian struktural ini, tanpa perlu melakukan pewarnaan atau labeling, yang dapat memperkenalkan variabel baru ke spesimen.
“Impian kami adalah agar semua orang memiliki kemampuan SLIM di laboratorium mereka,” kata Popescu. “SLIM dapat dipasangkan dengan perangkat lunak yang cukup cerdas untuk mencari penanda yang spesifik. Hal ini akan menyediakan ahli patologi dengan informasi baru yang berharga. Informasi tambahan ini akan diterjemahkan ke dalam diagnosis dan prognosis yang lebih akurat.”
“SLIM memiliki potensi yang sangat baik bagi ahli patologi untuk menambah nilai metode yang sudah tersedia dan meningkatkan akurasi prognosis,” kata Tangella.
Agar dapar mencapai tujuan tersebut, QLI bekerja sama dengan siswa yang berbasis di laboratorium Minh Do, anggota fakultas paruh waktu di Image Formation and Processing di Beckman Institute, untuk membangun perangkat lunak yang akan menemukan pola di dalam jaringan yang relevan untuk diagnosis dan prognosis.
“Kami sedang bekerja keras untuk memvalidasi hasil awal ini pada berbagai populasi pasien,” kata Balla.
“Langkah selanjutnya adalah mencoba untuk membantu dengan keputusan pengobatan pasien dan menerjemahkan temuan ini untuk tahap biopsi, pra-operasi. Metode ini sangat menjanjikan dan menunjukkan potensi untuk membantu dengan menentukan siapa yang harus menjalani pengawasan aktif versus perawatan bedah,” kata Sridharan.
Referensi :
Shamira Sridharan, Virgilia Macias, Krishnarao Tangella, André Kajdacsy-Balla, Gabriel Popescu. Prediction of Prostate Cancer Recurrence Using Quantitative Phase Imaging. Scientific Reports, 2015; 5: 9976 DOI: 10.1038/srep09976.