Bhataramedia.com – Sebelum isu “Go Green” marak beberapa waktu terakhir ini, suku Kajang yang hidup di wilayah Sulawesi Selatan sudah melakukannya selama ratusan tahun. Di tengah-tengah isu perampokan isi hutan oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab, konsistensi suku Kajang dalam menjaga alam seolah merupakan angin segar tersendiri.
Secara geografis dan administratif, suku Kajang terbagi menjadi dua, Kajang Luar dan Kajang Dalam. Dua Kajang tersebut jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat administratif Kabupaten Bulukumba, hanya sekitar 50 km. Namun hidup yang mereka jalani amat berbeda dengan masyarakat yang tinggal di Kabupaten.
Suku Kajang memiliki kehidupan tradisional yang disebut adat Ammatoa. Sebenarnya, hanya Kajang Dalam yang masih memegang teguh kehidupan tradisional tersebut. Suku Kajang Dalam menghuni wilayah Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung, dan Tambangan. Mereka sama sekali menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, teknologi dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan karena merusak kelestarian alam.
Menurut Rossler (1990), suku Kajang Dalam atau adat Ammatoa memegang teguh agama tradisional yang disebut Patuntung. Patuntung berasal dari bahasa Makassar “tuntungi”, yang jika diterjemahkan secara bebas berarti “mencari sumber kebenaran” (to inquiri into or to investigate the truth).
Dalam Patuntung dikenal tiga konsep dasar untuk mencapai sumber kebenaran, yakni menghormati Turiek Akrakna (Tuhan), menghormati tanah yang diberikan Turiek Akrakna, dan menghormati nenek moyang. Inilah sebabnya mengapa masyarakat adat Kajang Dalam amat menghormati lingkungan alamnya. Hubungan mereka dengan alam dilandasi atas pandangan hidup yang arif. Bagi mereka, hutan tak ubahnya seorang ibu, yang harus dihormati dan dilindungi karena ia membawa kepada sumber kebenaran.
Masyarakat Kajang Dalam percaya bahwa Turiek Akrakna telah menitipkan pesan-pesan untuk mereka melalui manusia pertama yang diyakini bernama Ammatoa. Salah satu pesan tersebut adalah tallase kamase-mase, alias perintah untuk hidup sederhana, bersahaja, dan apa adanya.
Perintah ini diwujudkan dalam bentuk rumah dan pakaian suku Kajang Dalam. Bentuk rumah masyarakat adat ini semuanya seragam baik ukuran, bahan, dan arah menghadapnya. Mereka juga tidak mau menggunakan rumah berbahan batu bata karena menyerupai orang mati, yakni hidup dikelilingi bahan tanah liat.
Selain rumah, pakaian masyarakat Kajang Dalam juga sama persis. Mereka selalu memakai warna hitam untuk baju dan sarung yang dikenakan. Warna hitam dianggap merupakan wujud persamaan dalam segala hal, karena tidak seperti merah atau biru yang ada jenis-jenisnya, hitam selalu persis sama. Hitam juga lebih mengingatkan mereka akan hidup yang akan datang.
Tallase kamase-mase berlaku juga dalam mencari nafkah. Bagi suku adat Kajang Dalam, tanah dan hutan dititipkan pada manusia bukan untuk dieksploitasi, melainkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagaimana anggapan mereka bahwa alam adalah ibu, masyarakat Kajang Dalam memperlakukan alam tak ubahnya seperti memperlakukan sesama manusia.