Bhataramedia.com – Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu jenis penyakit berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian kepada penderitanya. Biasanya kasus penyakit DBD mengalami peningkatan dimusim penghujan. Hal ini disebabkan banyaknya genangan air yang terbentuk setelah hujan dan di genangan air inilah tempat nyamuk penyebar virus dengue ini berkembang biak. Oleh karena itulah tak heran jika jumlah nyamuk penyebar virus dengui ini menjadi lebih banyak pada musim penghujan ini.
Adapun ciri-ciri yang ditunjukkan oleh orang yang terkena penyakit demam berdarah dengue yakni seperti mengalami demam yang cukup tinggi sekitar 38 sampai 40 derajat celcius. Demam ini pun berlangsung dalam waktu yang cukup lama yakni sekitar 2 sampai 7 hari. Selain itu, penderita penyakit demam berdarah dengue biasanya mengalami muntah darah, pada kulitnya terdapat bintik-bintik merah seperti campak, dan yang paling parahnya bisa mengalami pendarahan. Oleh karena itu, seseorang yang menunjukkan ciri-ciri terkena DBD harus segera diberi pertolongan pertama. Yakni menurunkan suhu badannya yang demam tinggi dengan cara mengkompresnya atau memberikan obat penurun demam dan segera membawanya berobat ke rumah sakit jika demamnya tak juga turun.
Penyakit ini dinilai berbahaya, karenanya langkah pencegahan harus dilakukan untuk mencegah wabah penyakit DBD ini. Seperti membasmi sarang nyamuk melalui langkah 3M yang selalu disosialisasikan pemerintah yakni menguras, menutup dan mengubur. Pemerintah pun selalu turun tangan untuk mengatasi penyakit DBD ini yakni dengan melakukan pengasapan untuk membasmi nyamuk penyebar virus dengue.
Selain langkah-langkah diatas pemberian vaksin untuk mencegah penyakit DBD ini dinilai merupakan langkah pencegahan yang efektif. Sayangnya vaksin DBD yang ada saat ini mengandung babi. Sehingga tidak mungkin untuk diaplikasikan di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Namun kabar menggembirakan datang dari kampus UI, yakni Dr. dr. Christina Safira Whinie Lestari, M.Kes. yang melakukan penelitian vaksin DBD halal selama empat tahun di Program Doktor Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). “Yang diutamakan dalam riset ini adalah produk vaksinnya halal. Kita menggunakan protein NS1 sebagai pengganti protein struktural untuk menghindari antibody dependence enhancement yang dapat memperburuk penyakit DBD (pada pasien). Kita juga menggunakan strain Indonesia yang mewakili penyakit DBD di Indonesia sehingga nanti dapat memberikan imun yang tepat bagi warga Indonesia,” jelas Christina, seperti dikutip dari website resmi UGM (23/04/2015). Semoga saja, hasil riset vaksin DBD halal ini dapat direalisasikan secepat mungkin untuk menekan kasus DBD.