Bhataramedia.com – Sebuah alat portabel sederhana dan efektif untuk memprediksi wabah flu burung di peternakan telah dibuat oleh peneliti dari University of Guelph.
Peneliti U of G telah merancang cara real-time untuk menganalisis ada tidaknya flu burung pada ayam dan burung yang ada di peternakan. Alat ini menggunakan sedikit sampel darah dan bergantung pada perubahan warna kimia sederhana untuk melihat tidak hanya apakah ayam memiliki flu burung, tetapi juga strain virus apa yang terlibat.
Tes yang ada saat ini memerlukan sampel untuk dikirim ke laboratorium, dan membutuhkan delapan jam hingga beberapa hari untuk mendapatkan hasil. Itu terlalu lama, kata Prof. Suresh Neethirajan, School of Engineering.
“Pengobatan, terutama ketika berhadapan dengan manusia yang telah terinfeksi, harus dimulai sesegera mungkin,” katanya.
“Tes ini hanya membutuhkan dua sampai tiga menit untuk inkubasi dan kemudian Anda mendapatkan hasil dengan segera. Tidak hanya itu, tenik ini lebih hemat biaya. Teknik konvensional memakan waktu dan tenaga, serta membutuhkan fasilitas khusus dan instrumen laboratorium yang mahal,” lanjut Prof. Suresh.
Studi mengenai perangkat terseut akan muncul di edisi mendatang dari jurnal ilmiah Sensors, yang diterbitkan oleh Molecular Diversity Preservation International (MDPI).
Minggu ini, pejabat Kanada menempatkan delapan peternakan di Ontario selatan di bawah karantina setelah wabah flu burung menyebabkan kematian mendadak ribuan burung selama beberapa hari.
Pengujian awal pada stran virus dilakukan di U of G’s Animal Health Lab.
Wabah flu burung juga terjadi di Kanada pada bulan Januari dan Desember 2014.
Prof. Suresh dan peneliti postdoktoral Longyan Chen ingin membuat tes yang dapat digunakan oleh siapa saja, bahkan bagi seseorang yang bukan ilmuwan.
“Itu sebabnya kami merancangnya sehingga perubahan warna terakhir berdasarkan jenis dari virus flu burung, serta dapat membedakan antara strain manusia dan strain burung,” kata Neethirajan.
“Sangatlah penting untuk mendahului terjadinya wabah. Ada banyak strain dan kita perlu mengetahui sumber flu. Identifikasi strain menentukan pilihan pengobatan apa yang harus kita gunakan,” jelas dia, seperti dilansir University of Guelph (10/04/2015).
Perangkat tersebut menggunakan nanopartikel emas (partikel mikroskopis) dan glowing quantum dots. Para peneliti telah mengembangkan pendekatan baru untuk deteksi secara cepat dan sensitif protein permukaan virus, dari sampel darah kalkun.
Sensor nano baru tersebut dapat mendeteksi strain H5N1 dan H1N1. Wabah terbaru adalah dari H5N2, yang mirip dengan H5N1, kata Neethirajan. Dengan beberapa modifikasi arsitektur, teknik biosensing yang dikembangkan memiliki potensi untuk mendeteksi strain H5N2 juga, katanya.
“Subtipe H1N1 beradaptasi pada manusia, sementara sebagian H5 adalah virus yang berorientasi pada burung,” tambah Prof. Suresh.
“Kami menciptakan alat diagnostik kesehatan hewan yang cepat, yang memerlukan sedikit volume darah, bahan kimia yang sedikit dan sedikit waktu. Kami akan dapat menentukan, segera, perbedaan antara virus sub-strain dari influenza manusia dan burung,” kata dia.
Referensi :
Nawfal Mungroo, Suresh Neethirajan. Biosensors for the Detection of Antibiotics in Poultry Industry—A Review. Biosensors, 2014; 4 (4): 472 DOI: 10.3390/bios4040472.