Depresi dan Insomnia, Faktor Risiko Terkuat untuk Mimpi Buruk

insomnia

Bhataramedia.com – Studi baru menunjukkan bahwa gejala depresi dan insomnia adalah prediktor terkuat bagi seseorang untuk sering mengalami mimpi buruk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3,9 persen dari peserta melaporkan sering mengalami mimpi buruk selama 30 hari sebelumnya, termasuk 4,8 persen wanita dan 2,9 persen pria. Mimpi buruk sering dilaporkan oleh 28,4 persen dari peserta dengan gejala depresi berat dan 17,1 persen dari mereka yang sering insomnia. Analisis lebih lanjut yang disesuaikan untuk pembaur potensial menemukan bahwa faktor risiko independen kuat untuk mimpi buruk adalah insomnia, kelelahan dan gejala depresi dari “sikap negatif terhadap diri sendiri.”

“Studi kami menunjukkan hubungan yang jelas antara kesejahteraan dan mimpi buruk,” kata pemimpin penulis, Nils Sandman, seorang peneliti Centre for Cognitive Neuroscience di University of Turku, Finlandia. “Hal ini paling jelas terjadi di dalam hubungan antara mimpi buruk dan depresi, tetapi juga tampak di dalam berbagai analisis lain yang melibatkan mimpi buruk dan pertanyaan yang mengukur kepuasan hidup dan kesehatan.”

Hasil studi ini diterbitkan di jurnal Sleep edisi April.

American Academy of Sleep Medicine melaporkan bahwa mimpi buruk terlihat, realistis dan gangguan mimpi ini biasanya melibatkan ancaman terhadap kelangsungan hidup atau keamanan, yang sering membangkitkan emosi kecemasan, ketakutan atau teror. Suatu gangguan mimpi buruk dapat terjadi ketika mimpi buruk yang berulang menyebabkan penderitaan atau gangguan di dalam fungsi sosial atau pekerjaan.

Penelitian ini merupakan upaya bersama dari University of Turku dan Finnish National Institute of Health and Welfare. Sandman dan tim peneliti menganalisis data pada dua survei cross-sectional independen dari populasi orang dewasa Finlandia yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2012. Sebanyak 13.922 orang peserta dewasa berusia antara 25 dan 74 tahun. Lima puluh tiga persen adalah perempuan. Survei melibatkan kuesioner yang dikirimkan kepada para peserta dan pemeriksaan kesehatan di pusat pelayanan kesehatan primer setempat, di mana kuesioner yang telah selesai dikembalikan dan diperiksa oleh perawat. Mimpi buruk seseali terjadi di dalam 30 hari terakhir, dilaporkan oleh lebih dari 45 persen dari peserta dan 50,6 persen melaporkan tidak ada mimpi buruk sama sekali.

Dilansir American Academy of Sleep Medicine (02/04/2015), Sandman mencatat bahwa studi cross-sectional tidak memungkinkan untuk pemeriksaan kausalitas. Namun, ia menyarankan bahwa hasil tersebut meningkatkan kemungkinan menarik yang layak diselidiki di masa depan.

“Ada kemungkinan bahwa mimpi buruk dapat berfungsi sebagai indikator awal timbulnya depresi dan oleh karena itu memiliki nilai diagnostik yang sebelumnya belum dimanfaatkan,” katanya. “Juga, karena mimpi buruk, insomnia dan depresi sering muncul bersama-sama, apakah mungkin untuk mengobati semua masalah ini dengan intervensi yang semata-mata diarahkan ke arah mimpi buruk?”

You May Also Like