Bhataramedia.com – Sementara perdebatan mengenai penggunaan ganja secara rekreasional masih berlanjut, para peneliti sedang menyelidiki efektivitas ganja untuk mengobati nyeri, kejang-kejang dan sejumlah masalah medis lainnya. Di dalam simposium yang diselenggarakan oleh Universitas McGill Health Centre (MUHC) sebagai bagian dari pertemuan tahunan American Association for the Advancement of Science 2015 yang diadakan minggu ini di San Jose, California, para ahli dari Amerika Utara dan Inggris berbagi perspektif mereka pada potensi terapi dari ganja secara medis dan mendalami ilmu yang muncul di belakangnya.
“Kita perlu meningkatkan pemahaman kita mengenai peran cannabinoids di dalam kesehatan dan penyakit melalui penelitian dan pendidikan bagi pasien, dokter dan pembuat kebijakan,” kata Dr. Mark Ware, direktur penelitian klinis di Alan Edwards Pain Management Unit di MUHC, Kanada.
Sebagai spesialis rasa sakit, Dr. Ware secara teratur melihat pasien dengan nyeri kronis parah di kliniknya di Montreal, dan untuk beberapa dari mereka, ganja tampaknya menjadi pilihan yang kredibel. “Saya tidak berpikir bahwa setiap dokter harus meresepkan ganja medis, atau bahwa setiap pasien dapat mendapatkan keuntungan, tetapi saati ini merupakan saat untuk meningkatkan basis pengetahuan ilmiah dan diskusi informasi dengan pasien,” jelas dia.
Peningkatan jumlah yurisdiksi di seluruh dunia memungkinkan akses ke ganja herbal, dan berbagai inisiatif kebijakan yang muncul untuk mengatur produksi, distribusi, dan otorisasi. Secara luas, diyakini bahwa hanya ada sedikit bukti untuk mendukung pertimbangan ganja sebagai agen terapeutik. Namun, beberapa obat-obatan yang berbasis tetrahydrocannabinol (THC), bahan psikoaktif ganja, telah disetujui sebagai obat farmasi.
Peneliti ganja terkemuka di Inggris, Profesor Roger Pertwee, yang ikut menemukan adanya tetrahydrocannabivarin (THCV) di dalam ganja pada tahun 70-an, baru-baru ini bersama dengan kolaboratornya menerbitkan beberapa temuan potensi relevansi terapi di British Journal of Pharmacology. “Kami mengamati bahwa THCV, komponen non-psikoaktif ganja, menghasilkan efek anti-skizofrenia di dalam model praklinis skizofrenia,” kata Pertwee, profesor neuropharmacology di Universitas Aberdeen. “Temuan ini telah mengungkapkan penggunaan terapi baru yang potensial untuk senyawa ini,” lanjut dia.
Neuropsikiatris dan Direktur dari Center for Medicinal Cannabis Research (CMCR) di University of California, San Diego, Dr. Igor Grant, tertarik pada efek neuropsikiatri jangka pendek dan panjang dari penggunaan ganja. CMCR telah mengawasi beberapa penelitian mendalam mengenai efek terapi ganja medis di Amerika Serikat. “Meskipun secara umum masih terdapat pandangan bahwa penggunaan ganja menghasilkan kerusakan otak, meta analisis dari penelitian neurokognitif yang mendalam, gagal untuk menunjukkan penurunan kognitif yang bermakna di antara pengguna ganja secara rekreasional,” kata Dr. Grant.
“Pencitraan otak telah menghasilkan hasil yang variabel, dengan penelitian yang dirancang terbaik menunjukkan temuan yang bernilai nol,” lanjut Dr. Grant, seperti dilansir McGill University Health Centre (15/02/2015).
Dr. Grant menambahkan bahwa sementara masuk akal untuk berhipotesis bahwa paparan ganja pada anak-anak dan remaja dapat mengganggu perkembangan otak atau predisposisi penyakit mental, data dari studi prospektif yang dirancang dengan baik masih kurang.