



Bhataramedia.com – Tim peneliti multi nasional yang dipimpin oleh para ilmuwan dari Duke Medicine telah mengidentifikasi subkelas dari antibodi yang berhubungan dengan respon imun yang efektif untuk digunakan sebagai vaksin HIV.
Temuan ini dipublikasikan pada tanggal 19 Maret 2014, di jurnal Science Translational Medicine.
Seperti dilansir laman Duke Medicine (19/3/2014), hasil penelitian ini menjelaskan mengapa kombinasi dari dua vaksin mampu menunjukkan beberapa efek teurapeutik (efek yang diinginkan dari suatu obat), sedangkan penggunaan salah satu vaksin saja tidak mampu menimbulkan efek teurapeutik. Penelitian ini juga memberikan pandangan baru mengenai mekanisme kunci yang dapat membantu pengembangan vaksin baru.
“Kuantitas vaksin tidaklah selalu menimbulkan respon antibodi yang lebih baik,” kata penulis senior Georgia D. Tomaras, Ph.D., direktur Laboratory of Immune Responses and Virology di Duke Human Vaccine Institute. “Sebaliknya, kualitas dari kombinasi vaksin merupakan suatu hal yang akan mampu menginduksi respon imun. Pada pengujian vaksin di masa yang akan datang, hal tersebut akan menjadi penting untuk mengetahui subkelas, spesifisitas dan fungsi antivirus dari antibodi yang diinduksikan ke sistem imun.”
Pada uji coba pertama, Tomaras dan koleganya melakukan dua pengujian terhadap vaksin HIV. Sebelumnya vaksin ini juga telah diuji di Thailand. Pengujian pertama ini mereka sebut dengan VAX003. Pengujian ini selesai pada tahun 2003 dan mempelajari tentang vaksin di kalangan pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik. Hasilnya, vaksin ini ternyata tidak efektif.
Uji coba kedua yang dikenal dengan RV144, dilakukan pada tahun 2009 dan melibatkan lebih dari 16.000 orang dewasa sebagai subjek penelitian. Dalam riset ini, digunakan kombinasi dua vaksin; satu sebagai vaksin utama dan satunya lagi sebagai booster atau pendukung. Booster yang dipilih adalah vaksin yang digunakan dalam percobaan sebelumnya (VAX003). Pada studi RV144, vaksin kombinasi ini diketahui 31,2 persen lebih efektif untuk mencegah infeksi HIV (tingkat keberhasilan yang belum pernah terjadi sebelumnya), akan tetapi hal ini masih dianggap terlalu rendah untuk penggunaan secara umum.
Pada kedua percobaan tersebut, vaksin mampu menginduksi produksi antibodi yang menargetkan region (area) yang sama dari virus HIV. Akan tetapi, masih terdapat satu pengecualian dalam urutan uji klinis ini. Tomaras dan rekannya menemukan bahwa peserta (subjek penelitian) dalam uji coba vaksin RV144 lebih cenderung memiliki antibodi IgG3 (Imunoglobulin G3) spesifik HIV, dibandingkan dengan peserta pada uji vaksin VAX003. Respon IgG3 spesifik HIV berkorelasi dengan penurunan risiko infeksi, tetapi efeknya berkurang dari waktu ke waktu, mirip dengan penurunan keberhasilan yang diamati dalam uji coba RV144.
“IgG3 spesifik HIV-1 adalah salah satu biomarker yang dapat dievaluasi sebagai kandidat vaksin selanjutnya. IgG3 spesifik HIV-1, memiliki mekanisme khusus yang dapat digunakan sebagai patokan untuk menentukan kandidat vaksin HIV-1 lainnya. “Kata Tomaras.
Referensi Jurnal :
N. L. Yates, H.-X. Liao, Y. Fong, A. deCamp, N. A. Vandergrift, W. T. Williams, S. M. Alam, G. Ferrari, Z.-y. Yang, K. E. Seaton, P. W. Berman, M. D. Alpert, D. T. Evans, R. J. O’Connell, D. Francis, F. Sinangil, C. Lee, S. Nitayaphan, S. Rerks-Ngarm, J. Kaewkungwal, P. Pitisuttithum, J. Tartaglia, A. Pinter, S. Zolla-Pazner, P. B. Gilbert, G. J. Nabel, N. L. Michael, J. H. Kim, D. C. Montefiori, B. F. Haynes, G. D. Tomaras. Vaccine-Induced Env V1-V2 IgG3 Correlates with Lower HIV-1 Infection Risk and Declines Soon After Vaccination. Science Translational Medicine, 2014; 6 (228): 228ra39 DOI: 10.1126/scitranslmed.3007730.